Tenggelamnya Kapal van Der Wijck, cerita budaya Minangkabau berbalut romantisme Zainudin dan Hayati
Tenggelamnya Kapal van Der Wijck, cerita budaya Minangkabau berbalut romantisme Zainudin dan Hayati
Beberapa waktu yang lalu saya menyempatkan diri untuk membaca novel legendaris ialah "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" yang merupakan karya dari sang penulis ternama yaitu Buya Hamka. Buku ini merupakan salah satu dari mahakarya beliau yang ditulis di selang - selang kesibukan beliau selama bekerja sebagai penulis dalam satu majalah yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat.
Karya Hamka yang satu ini hingga tahun 1963 telah mengalami cetak ulang tujuh kali oleh penerbit yang berbeda-beda. Cetakan pertama (1939) dan kedua (1949) diterbitkan oleh Penerbit Centrale Courant. Cetakan ketiga (tahun 1951), keempat (tahun 1958), dan kelima (tahun 1961) diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka di Jakarta. Cetakan keenam (tahun 1961) dan ketujuh (tahun 1963) novel itu diterbitkan di Bukittinggi oleh Penerbit NV Nusantara. Cetakan ke-26 (tahun 2002) oleh Penerbit Bulan Bintang.
Tanpa berbasa - basi lebih lanjut, berikut adalah ringkasan singkat dari novel ini.
Di Negeri Batipuh Sapuluh Koto (Padang panjang) 30 tahun lampau, hiduplah seorang pemuda bergelar Pendekar Sutan, pewaris tunggal dari harta peninggalan ibunya. Namun, Pendekar Sutan tidak memiliki saudara perempuan sehingga harta warisan tersebut diurus oleh mamaknya yaitu Datuk Mantari Labih (sesuai adat istiadat Matrilineal).
Selain itu, Datuk Mantari Labih memang mendapat amanah dari ibu Pendekar Sutan untuk menjaga warisan anaknya. Sayangnya, Datuk Mantari labih serakah , ia ingin memiliki semua harta warisan yang dititipkan kepadanya dan tak mengijinkan Pendekar Sutan untuk menggunakannya, padahal harta warisan itu milik Pendekar Sutan.
Puncaknya, ketika Pendekar Sutan ingin menikah, Datuk Mantari Labih tak mengijinkan harta warisan itu digunakan untuk keperluan menikah.Hal ini membuat Pendekar Sutan marah.Maka terjadilah pertengkaran antara Pendekar Sutan dan Datuk Mantari Labih. Pertengkaran tersebut menyebabkan Datuk Mantari labih meninggal.
Setelah itu, Pendekar Sutan pun ditangkap dan dibuang ke Cilacap. Saat itu ia masih berusia 15 tahun. Setelah dibuang ke Cilacap, Pendekar Sutan dibawa ke Tanah Bugis (Perang Bone), Akhirnya Pendekar Sutan pun bebas dari hukumannya, setelah bebas, ia pun pergi ke daerah mengkasar. Disana, ia menemukan pujaan hatinya, Daeng Habibah, putri dari seorang penyebar agama islam keturunan Melayu. Mereka pun menikah.
Empat tahun kemudian, Daeng habibah melahirkan seorang anak laki laki yang diberi nama Zainuddin. Namun, saat Zainuddin kecil, Daeng Habibah, ibunya, meninggal. Beberapa bulan kemudian, Pendekar Sutan pun menyusul Daeng Habibah. Sehingga Zainuddin diasuh oleh Mak Base.
Mak base adalah orang terdekat dari Pendekar Sutan dan Daeng Habibah. Beliaulah yang merawat dan mendidik Zainuddin sampai dewasa dan menjadi seorang yang berakhlak mulia.Setelah Zainuddin dewasa, ia meminta izin kepada Mak Base untuk pergi ke kampung halaman ayahnya di daerah Padang Panjang. Dengan berat hati, Mak Base melepas Zainuddin pergi. Sampai di Padang Panjang Zainuddin langsung menuju kampung Batipuh. Disanalah ayahnya dilahirkan. Sesampainya di sana ia sangat gembira, namun lama-kelamaan kegembiraan nya itu hilang karena ternyata tidak seperti yang ia harapkan.
Ia dianggap sebagai orang asing atau orang Bugis oleh masyarakat setempat, hanya karena ia di lahirkan dari seorang wanita yang bukan keturunan ninik mamaknya. Tetapi Zainuddin tetap tabah menghadapi omongan orang-orang di kampung tersebut.
Betapa malangnya Zainuddin, karena di negeri ibunya, ia dianggap sebagai orang asing juga atau sebagai orang Padang.
Akhirnya ia memutuskan untuk kembali pulang ke Mengkasar menemui Mak Base. Namun, saat akan pergi, ia pun bertemu dengan Hayati, seorang gadis cantik berdarah Minang. Pertemuan dengan Hayati membuat hatinya gelisah dan sebagai alasan untuk tetap tinggal di sana.
Berawal dari pertemuan yang tidak disengaja, berlanjut dengan surat menyurat maka penderitaan sepasang kekasih ini pun dimulai.
Dalam suratnya Zainuddin menuliskan “Sebagai kukatakan dahulu, lebih bebas saya menulis surat daripada berkata-kata dengan engkau. Saya lebih pandai meratap,menyesal dan mengumpat dalam sebuah surat. Karena, bilamana saya bertemu dengan engkau, maka matamu yang sebagai Bintang Timur itu senantiasa menghilangkan susun kataku.”
Hayati adalah perempuan yang tak hanya cantik,namun juga memiliki budi pekerti yang baik. Mereka sering bertemu dengan bantuan adik laki-laki Hayati.
Namun apa daya, Hubungan ini tidak disetujui oleh ninik dan mamaknya Hayati. Dikarenakan Zainuddin berasal dari suku yang berbeda, asal-usulnya sebagai orang buangan di Mengkasar, dan tak memiliki harta. Sedangkan Hayati terlahir dari keluarga terpandang.
Untuk menghindari pergunjingan tentang hubungan mereka, maka mamak Hayati menyuruh Zainuddin pergi meninggalkan Batipuh.
Dengan berat hati, Zainuddin pun pindah ke Padang Panjang. Disana, Zainuddin memperdalam ilmu agama dan pengetahuannya. Di kota tersebut banyak sekolah-sekolah agama yang bagus.
Akhirnya, Hayati memilih untuk diperistri oleh Aziz, kakak dari sahabatnya, Khadijah. Luluh lantaklah hati si Yatim-Piatu yang terbuang itu, terlebih lagi disaat yang sama Zainuddin mendapat kabar kalau Mak Base, pengasuhnya telah berpulang.
Mak Base meninggal dan mewariskan banyak harta kepada Zainuddin. Zainuddin memberanikan diri mengirim surat lamaran kepada Hayati di Batipuh. Tetapi sayangnya, bersamaan dengan datangnya rombongan dari pihak Aziz yang hendak melamar Hayati. Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang kini ia miliki, sehingga ia ditolak oleh ninik mamak Hayati.
Ninik mamak hayati menerima pinangan Aziz yang di mata mereka lebih beradab dan kaya raya. Hayati akhirnya menikah dengan Azis. Azis adalah anak orang terpandang, satu suku dan terikat kerabat dengan mamaknya hayati, walaupun jauh. Awal pernikahan Hayati dan Azis sangat bahagia karena Azis pandai mengambil dan menyenangkan hati Hayati. Namun tanpa sepengetahuan Hayati, Azis adalah tipe pemuda yang suka menghamburkan uang, berjudi, mabuk-mabukkan dan senang main perempuan.
Disisi lain, Zainuddin tidak mampu menerima penolakan tersebut, apalagi menurut Muluk, sahabatnya bahwa sebenarnya Aziz memiliki perilaku yang buruk.
Zainuddin pun jatuh sakit, akibat terlalu memikirkan orang yang ia cintai pergi bersama pria lain. Setiap hari, ia selalu memanggil nama Hayati. Atas permintaan dokter dan izin dari Azis, suami hayati, akhirnya hayati pun menjenguk Zainuddin. Dalam sekejap, Zainuddin pun sembuh. Setelah sembuh dari sakit, Zainuddin pun mulai bangkit untuk melupakan Hayati.
Zainuddin dtemani Muluk, sahabatnya pindah ke Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, Zainuddin menjadi penulis terkenal. Ia menggunakan nama Samaran “Z” di setiap karyanya.
Muluk lah yang menyemangati Zainuddin sampai ia bisa mencapai titik tersebut, sukses dan melupakan hayati.
Hayati dan Aziz hijrah ke Surabaya. Perekonomian mereka makin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang akibat ulah Aziz. Mereka diusir dari kontrakan dan secara kebetulan mereka bertemu dengan Zainuddin, mereka singgah di rumah Zainuddin. Karena tak kuasa menanggung malu atas kebaikan Zainuddin, Aziz meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan ke Banyuwangi.
Beberapa hari kemudian, datang dua surat dari Aziz yang pertama berisi surat perceraian untuk Hayati sedangkan yang kedua berisi surat permintaan maaf dan permintaan agar Zainuddin mau menerima Hayati kembali. Setelah itu datang berita bahwa Aziz ditemukan bunuh diri di kamarnya.
Hayati juga meminta maaf kepada Zainuddin. Ia berharap bisa kembali bersama Zainuddin. Namun, masih terasa sakit di hati Zainuddin. Sehingga ia menyuruh Hayati pulang ke kampung halamannya, Batipuh. Esok harinya, Hayati pulang ke Batipuh menumpang kapal Van Der Wijck meskipun dengan terpaksa dan kesedihan yang mendalam.
Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia tidak bisa hidup tanpa Hayati. Apalagi setelah membaca surat Hayati yang bertuliskan “aku cinta engkau dan kalau kumati, kematianku dalam mengenang engkau.” Maka segeralah ia menyusul Hayati ke Jakarta. Saat Zainuddin sedang bersiap-siap, tersiar kabar bahwa kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hayati tenggelam. Zainuddin langsung syok dan langsung pergi bersama Muluk untuk mencari Hayati. Muluk menyesal karena ia tidak memberi tahu Zainuddin bahwa Hayati sebenarnya masih mencintainya.
Hayati menghembuskan nafas terakhir setelah Zainuddin membimbing mengucapkan kalimah syahadat. Tak lama setelah Hayati meninggal, Zainuddin pun menyusulnya. Karena tidak bisa berhenti memikirkan hayati menyebabkan ia sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal. Sedangkan jasadnya dimakamkan dekat pusara Hayati oleh muluk. Cinta sejatinya kekal abadi.
Novel ini berlatar di tengah abad ke-20 di mana Hamka terinspirasi untuk menuliskan novel ini karena sebuah kapal pesiar yang tenggelam pada tahun 1936. Jadi latar waktu novel ini tidak jauh berbeda dengan latar waktu saat Hamka mulai menulis, di mana novel tersebut pertama kali diterbitkan pada tahun 1938 sebagai cerita bersambung dalam rubrik "Feuilleton" majalah Pedoman Masyarakat.
Menurut saya novel ini memiliki beberapa keunggulan yang membuatnya berbeda dari novel - novel lain yang pernah saya baca. Hamka dalam novel ini pandai menggunakan bahasanya dalam menjelaskan dan menggambarkan hal - hal seperti suasana pemandangan alam hingga emosi serta rasa yang dimiliki oleh para tokoh. Kemahiran Hamka yang telah saya amati setelah membaca novel ini ialah kemampuannya untuk menyeimbangkan antara penggunaan majas serta kalimat yang frontal dalam pendeskripsian yang menurut saya efektif dalam menggambarkan suatu hal karena terkadang beberapa penulis seringkali menggunakan terlalu banyak majas ataupun penulisan kalimatnya yang terlalu datar sehingga apa yang ingin disampaikan oleh sang penulis terkesan kurang enak untuk diresapi. Namun di sini lah di mana kemampuan Hamka mencolok bagi saya dari penulis yang lainnya, di mana syair - syair yang tertuang di lembaran novel ini begitu elegan dan berkelas tetapi masih bisa untuk dicerna tanpa memberi kesan yang berlebihan.
Hal lain yang ingin saya beri apresiasi dalam novel ini merupakan cara Hamka dalam mengkritik dan menyinggung kebudayaan Minangkabau yang menurutnya menghambat masyarakat untuk hidup dengan tentram dan bahagia, bahkan menyengsarakan kehidupan untuk sebagian individu, terutamanya kaum wanita sebagaimana yang diceritakan dalam novel ini. Budaya kawin paksa yang saat itu kerapkali dilakukan di kalangan masyarakat Minangkabau menurutnya merupakan perampasan hak dari wanita ataupun lelaki untuk bebas memilih pasangan hidup mereka, dengan latar belakang kawin paksa tersebut dilakukan demi meningkatkan derajat sebuah keluarga atau untuk sekedar menitipkan anak perempuannya di tangan orang lain, bahkan tidak jarang terjadi jika kawin paksa dilakukan demi melunaskan hutang. Itulah situasi masyarakat Minangkabau saat Hamka mulai menulis novel ini. Oleh karena itu Hamka berani untuk menyinggung kebudayaan "kuno" ini yang diselipkan dalam alur cerita roman ini. Meskipun saat diterbitkannya novel ini, Hamka sempat dikritik dan dicemooh oleh masyarakat kampung halamannya dengan alasan Hamka mencoba untuk menista ata istiadata masyarakat Minangkabau, beliau tetap teguh dalam mempertahankan pemikirannya bahwa untuk memajukan kesejahteraan masyarakat Minangkabau, langkah pertama yang perlu dilakukan ialah untuk menghapus praktis - praktis tersebut. Ini lah hal yang saya gemar dari kepribadian Hamka, sikap beliau untuk terus mempertahankan apa yang menurutnya benar di tengah kritikan dan caci makian masyarakat awam pada waktu itu.
Dengan segala kelebihan dari novel ini, sayangnya menurut saya ada beberapa hal yang saya anggap sebagai kekurangan, salah satunya merupakan penggunaan bahasa campuran Melayu yang terkadang membuat saya kesulitan untuk memahami apa pokok dari kalimat yang disampaikan. Terkadang saya harus berhenti baca dan mencari makna dari kalimat yang menurut saya memiliki makna yang kurang jelas. Namun hal ini saya maklumi karena Hamka memang dikenal dengan gaya bahasanya yang dicampur dengan bahasa Melayu mungkin sebagai penanda bahwa dirinya merupakan seseorang yang berdarah Minang.
Demikianlah resensi saya tentang "Tenggelamnya Kapal van Der Wijck", semoga blog ini dapat membujuk kalian untuk membaca novel ini karena novel ini memang salah satu novel populer bersejarah yang belakangan ini sedang mengalami kenaikan popularitas dengan barusannya dirilis film "Buya Hamka" yang menceritakan tentang kehidupan sang penulis tersebut. Jika anda masih ragu untuk membaca novel ini, akan saya sajikan juga trailer dari adaptasi film dari novel ini yang menurut saya cukup bagus dalam memuatkan kisah cinta yang ada dalam novel ini, namun sayangnya ada beberapa alur atau adegan yang tidak ditayangkan dalam filmya dengan lantaran untuk menghemat waktu agar tidak terlalu panjang. Tetapi secara keseluruhan menurut saya filmnya merupakan adaptasi yang bagus dari novel legendaris ini. Itu saja yang saya ingin sampaikan dalam resensi yang singkat ini, semoga dapat membantu kalian yaa.
Selamat membaca!
Comments
Post a Comment